Hedonisme adalah pandangan hidup yang menganggap bahwa kesenangan dan kenikmatan materi adalah tujuan utama hidup. Bagi para penganut paham ini, bersenang-senang, pesta-pora, dan pelesiran merupakan tujuan utama hidup, entah itu menyenangkan bagi orang lain atau tidak. Karena mereka beranggapan hidup ini hanya 1x, sehingga mereka merasa ingin menikmati hidup senikmat-nikmatnya. di dalam lingkungan penganut paham ini, hidup dijalanani dengan sebebas-bebasnya demi memenuhi hawa nafsu yang tanpa batas. Dari golongan penganut paham ini lah muncul nudisme (gaya hidup bertelanjang). Pandangan mereka terangkum dalam pandangan Epikuris yang menyatakan,"Bergembiralah engkau hari ini, puaskanlah nafsumu, karena besok engkau akan mati."
Menurut kamus Indonesia Wikipedia, Hedonisme berasal dari bahasa Yunani yang derivasi katanya; ‘hedon’ (pleasure) dan ‘isme’. Yang diartikan sebagai paradigma berpikir yang menjadikan kesenangan sebagai pusat tindakan (any way of thinking that gives pleasure a central role). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, hedonisme diartikan sebagai pandangan yang menganggap kesenangan dan kenikmatan materi sebagai tujuan utama dalam hidup (KBBI, edisi ketiga, 2001). Secara general, hedonisme bermakna, kesenangan merupakan satu-satunya manfaat atau kebaikan. Dengan demikian hedonisme bisa didefinisikan sebagai sebuah doktrin (filsafat etika) yang berpegangan bahwa tingkah laku itu digerakkan oleh keinginan atau hasrat terhadap kesenangan dan menghindar dari segala penderitaan. Paradigma hedonistis memfokuskan pandangannya pada pencarian kesenangan an-sich dan penghindaran terhadap segala penderitaan. Namun dewasa ini substansi secara harfiah sudah tidak lagi menemukan relevansinya. Nampaknya tidak ada persamaan persepsi mengenai apa-apa saja yang sebenarnya bisa mendatangkan kesenangan dan apa-apa saja aktivitas yang bisa mendatangkan penderitaan. Esensi filosofis hedonistik terkadang punya konotasi seksual atau pemikiran liberal.
didalam sejarah filsafat yunani kuno filsuf yang pertama kali mengenalkan arti dari hedonisme adalah Democritus (400-370SM) yang memandang kesenangan menjadi kebutuhan pokok dalam kehidupan ini walaupun yang dimaksud oleh demokritus arti kesenangan bukan hanya dimaksud pada aspek kesenangan fisik belaka melainkan kesenangan fisik dianggap sebagai perangsang untuk perkembangan intelektual semata. lalu salah satu pengikut dari socrates Aristipus (395SM) mengajarkan kesenangan merupakan satu-satunya yang ingin dicari manusia. kesenangan didapat langsung dari panca indera, orang yang bijaksana selalu mengusahakan kesenangan sebanyak-banyaknya, sebab sakit adalah sesuatu hal yang tidak menyenangkan. tokoh lainnya adalah epicurus (341-270SM) ia dianggap sebagai salah satu tokoh yang memiki sebuah kajian rinci dikarenak dia adalah tokoh yang hidup didalam zaman helenisme. baginya kesenangan merupakan sumber norma krena dia beranggapan kesenangan bukan hanya dipandang dari kesenangan jasmani saja. sebab kesenangan yang berlebih akan menimbulkan rasa sakit pula menurutnya. "banyak makan enak akan menyebabkan sakit perut, banyak melakukan hubungan sexual akan mengakibatkan kelelahan yang luar biasa, senang bagi epicurus bermakna tidak adanya sakit yang dirasakan didalam badan, dan tidak adanya kesulitan kejiwaan.
dinegara kita khususnya dan di negara-negara berkembang lainnya budaya hedonisme ini sudah mulai merebak bahkan seudah menjadi sesuatu yang khas sebagai prilaku kehidupan didalam masyarakatanya. karena kebanyakan dari mereka melakukan prilaku tanggung dalam memahami moderenitas sebagai sebuah nilai. mereka hanya menggap moderenitas hanyalah sebuah sebuah simbol terjadinya peningkatan zaman yang lebih canggih dan mukhtakhir, dan beranggapan memiki atau mengkonsumsi dari barang dengan label moderen adalah sebuah kewajiban bagi mereka untuk memikinya. tanpa memikirkan dan menghargai bagaimana proses barang itu terjadi. dan budaya latah inilah yang akhirnya memaksa masyarakat kita untuk bersikap sebagai konsumen yang baik, yang menimbulkan sikap konsumerisme yang berlebihan, dan merasa bodoh atau tidak up to date bila mereka tidak mengikuti perkembangan mode dll, mereka takut di cap sebagai orang kuno, oldiest, katro, kuper, bila tidak mengikuti perkembangan yang ada. dan inilah yang akhirnya menimbulkan pola karakter dari masyarakat kita menjadi penganut paham hedon tanpa mereka sadari.
Dunia pendidikan sering dianggap orang yang mampu melahirkan kaum intelektual dan lahirnya generasi muda yang cerdas dan peduli atau sering dibilang (agent of change atau agent control social). Dan terkadang seorang mahasiswa bila dihadapan masyarakat sering dianggap orang “yang paling bisa” dan mampu diandalkan. Mungkin hal itu benar, tapi tidak seratus persen. Tetapi seiring berjalannya zaman, dan dengan genjatan teknologi dan serangan budaya imperialism easing (liberalis) Sekarang ini, kata-kata itu sudah perlahan berbalik, mahasiswa hanya dianggap sebagai seoongok pelajar yang “sok bisa” saja dan mungkin sekarang dicap sebagai calon pengangguran.
Bahkan di Yogyakarta yang selama ini dikenal dengan kota pelajar, sekarang julukan itu sudah memudar. dapat Lihat, para mahasiswa/siswa/masyarakatnya lebih asyik jalan-jalan ke mall, ke salon kecantikan, tempat futsal, nongkrong ditempat hiburan bahkan dugem. Gaya pakaian dan hidupikuti gaya selebritis dan artis-artis yang terkadang tidak cocok buat ukuran tubuh mereka. Dapat kita bayangkan yogya yang dijadikan “icon” pendidikannya Indonesia sekarang sudah berubah. Dan gaya seperti itu pun kini sudah merebak keberbagai daerah-daerah bahkan “kuningan”.
Meskipun tidak semua mahasiswa seperti itu, namun gaya tersebut sudah menjadi keharusan bagi mayoritas masyrakat kita bahkan sampai tingkatan mahasiswa/i. Krisis aqidah, krisis intelektual sedang melanda generasi kita. Dapat kita amati pola perilaku dari kehidupan para mahasiswa/I, masyarakat pada umumnya sekarang apa yang di dapat, mereka tidak lebihnya seperti kerbau yang dicocok hidungnya. Ketika Descrates mengatakan esensi untuk menajadi manusia seutuhnya dengan mengatakan “cognito ergo sum” –aku berfikir maka aku ada- sekarang berubah bagi para penganut paham hedon / kaum hypiest, menjadi “aku bergaya maka aku ada”. Mereka bagi penganut hedonisme Sebagian besar lebih pedulikan gaya pakaian, rambut, perawatan wajah dan style ke-artis-artisan (ngikutin idolanya). mereka pikir lebih modern akan lebih mudah diterima oleh lingkungan sekitarnya. Dan lebih anehnya lagi, contoh (celana ketat yang bahanya dari kaos dipakai untuk kuliah, lalu di kepala pakai kerudung), benarkah mereka tahu mode atau justru mereka sebagai korban mode?. Jika kita melihat mereka berjalan Seakan-akan sedang menonton pertunjukan fashion show dan caltwalk nya adalah pinggir jalan, pasar, mall, bahkan di kampus baik yang berlabel Islam atau Negeri.
Pernah karena sebuah rasa penasaran kenapa sebagian besar mahasiswa-mahasiswi tidak begitu tertarik untuk membeli buku dan mengoleksinya? maka akupun sering bertanya kepada mahasiswa tersebut. Dan banyak jawaban dari mereka “ga suka baca buku, karena kiriman dari orang tua sedikit/cukup untuk makan saja, dan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.” Oke, kalau jawabanya seperti itu wajar, tapi yang mengejutkan, ketika diamati ternyata mereka mampu beli baju yang bermerk, ke salon, beli pulsa, rokok dan lain-lain. Ada beberapa kemungkinan yang membuat mereka bersikap seperti itu antara lain: belum ada kesadaran pentingnya buku dalam menggali informasi dan potensi diri serta belum memahami akan dunia sekelilingnya, menunjang kemampuanya dalam berbagai forum diskusi dan kuliah atau sekolahnya, membawa pada suatu kekayaan baik harta dan persahabatan. Mereka tidak melihat dampak kedepannya, mereka hanya berpikir kesenangan sesat.
Peranan nilai, norma dan agama
Meskipun sikap atau perilaku hedonisme adalah hak pribadi seseorang, tetapi sikap tersebut sangat tidak sesuai dengan nilai, norma dan agama, bertentangan dengan jiwa semangat teposeliro atau tenggang rasa dalam konteksi interaksi antar stratifikasi/lapisan sosial masyarakat, menimbulkan kecemburuan sosial, mendorong terjadinya ekses perubahan norma/pranata aturan hidup yang berlaku ke arah penghargaan dan penghormatan adalah berdasarkan seberapa besar seseorang memiliki kedudukan dan harta benda di mata masyarakat.
Begitu pula halnya agama mengecam keras terhadap perilaku atau sikap hedonisme yang di nilai terlalu berlebih-lebihan dalam hidup. Cenderung pamer dengan segala fasilitas yang dimilikinya. Kesenangan, kelezatan serta kebahagiaan adalah final destination of life (Tujuan akhir hidup).
Agama mengajarkan tentang arti kebersahajaan, kesederhanaan dan kewajaran dalam hidup ini. Sementara, sikap hedonisme tak lebih dari ekspresi ambisi tanpa nurani yang tak berujung.
Kini hedonisme melanda sebagian masyarakat kita, baik secara langsung maupun tak langsung. Menurut Prof.Dr. Syafii Ma'arif, diperlukan adanya reaktualisasi dan revitalisasi peran nilai, norma dan agama secara komprehensif yang berfungsi sebagai pedoman moral etika masyarakat yang mampu meredam gejolak pola hidup hedonisme yang melahirkan budaya konsumtif materialistis sebagai konsekuensi logis di era modern ini.
Menurut kamus Indonesia Wikipedia, Hedonisme berasal dari bahasa Yunani yang derivasi katanya; ‘hedon’ (pleasure) dan ‘isme’. Yang diartikan sebagai paradigma berpikir yang menjadikan kesenangan sebagai pusat tindakan (any way of thinking that gives pleasure a central role). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, hedonisme diartikan sebagai pandangan yang menganggap kesenangan dan kenikmatan materi sebagai tujuan utama dalam hidup (KBBI, edisi ketiga, 2001). Secara general, hedonisme bermakna, kesenangan merupakan satu-satunya manfaat atau kebaikan. Dengan demikian hedonisme bisa didefinisikan sebagai sebuah doktrin (filsafat etika) yang berpegangan bahwa tingkah laku itu digerakkan oleh keinginan atau hasrat terhadap kesenangan dan menghindar dari segala penderitaan. Paradigma hedonistis memfokuskan pandangannya pada pencarian kesenangan an-sich dan penghindaran terhadap segala penderitaan. Namun dewasa ini substansi secara harfiah sudah tidak lagi menemukan relevansinya. Nampaknya tidak ada persamaan persepsi mengenai apa-apa saja yang sebenarnya bisa mendatangkan kesenangan dan apa-apa saja aktivitas yang bisa mendatangkan penderitaan. Esensi filosofis hedonistik terkadang punya konotasi seksual atau pemikiran liberal.
didalam sejarah filsafat yunani kuno filsuf yang pertama kali mengenalkan arti dari hedonisme adalah Democritus (400-370SM) yang memandang kesenangan menjadi kebutuhan pokok dalam kehidupan ini walaupun yang dimaksud oleh demokritus arti kesenangan bukan hanya dimaksud pada aspek kesenangan fisik belaka melainkan kesenangan fisik dianggap sebagai perangsang untuk perkembangan intelektual semata. lalu salah satu pengikut dari socrates Aristipus (395SM) mengajarkan kesenangan merupakan satu-satunya yang ingin dicari manusia. kesenangan didapat langsung dari panca indera, orang yang bijaksana selalu mengusahakan kesenangan sebanyak-banyaknya, sebab sakit adalah sesuatu hal yang tidak menyenangkan. tokoh lainnya adalah epicurus (341-270SM) ia dianggap sebagai salah satu tokoh yang memiki sebuah kajian rinci dikarenak dia adalah tokoh yang hidup didalam zaman helenisme. baginya kesenangan merupakan sumber norma krena dia beranggapan kesenangan bukan hanya dipandang dari kesenangan jasmani saja. sebab kesenangan yang berlebih akan menimbulkan rasa sakit pula menurutnya. "banyak makan enak akan menyebabkan sakit perut, banyak melakukan hubungan sexual akan mengakibatkan kelelahan yang luar biasa, senang bagi epicurus bermakna tidak adanya sakit yang dirasakan didalam badan, dan tidak adanya kesulitan kejiwaan.
dinegara kita khususnya dan di negara-negara berkembang lainnya budaya hedonisme ini sudah mulai merebak bahkan seudah menjadi sesuatu yang khas sebagai prilaku kehidupan didalam masyarakatanya. karena kebanyakan dari mereka melakukan prilaku tanggung dalam memahami moderenitas sebagai sebuah nilai. mereka hanya menggap moderenitas hanyalah sebuah sebuah simbol terjadinya peningkatan zaman yang lebih canggih dan mukhtakhir, dan beranggapan memiki atau mengkonsumsi dari barang dengan label moderen adalah sebuah kewajiban bagi mereka untuk memikinya. tanpa memikirkan dan menghargai bagaimana proses barang itu terjadi. dan budaya latah inilah yang akhirnya memaksa masyarakat kita untuk bersikap sebagai konsumen yang baik, yang menimbulkan sikap konsumerisme yang berlebihan, dan merasa bodoh atau tidak up to date bila mereka tidak mengikuti perkembangan mode dll, mereka takut di cap sebagai orang kuno, oldiest, katro, kuper, bila tidak mengikuti perkembangan yang ada. dan inilah yang akhirnya menimbulkan pola karakter dari masyarakat kita menjadi penganut paham hedon tanpa mereka sadari.
Dunia pendidikan sering dianggap orang yang mampu melahirkan kaum intelektual dan lahirnya generasi muda yang cerdas dan peduli atau sering dibilang (agent of change atau agent control social). Dan terkadang seorang mahasiswa bila dihadapan masyarakat sering dianggap orang “yang paling bisa” dan mampu diandalkan. Mungkin hal itu benar, tapi tidak seratus persen. Tetapi seiring berjalannya zaman, dan dengan genjatan teknologi dan serangan budaya imperialism easing (liberalis) Sekarang ini, kata-kata itu sudah perlahan berbalik, mahasiswa hanya dianggap sebagai seoongok pelajar yang “sok bisa” saja dan mungkin sekarang dicap sebagai calon pengangguran.
Bahkan di Yogyakarta yang selama ini dikenal dengan kota pelajar, sekarang julukan itu sudah memudar. dapat Lihat, para mahasiswa/siswa/masyarakat
Meskipun tidak semua mahasiswa seperti itu, namun gaya tersebut sudah menjadi keharusan bagi mayoritas masyrakat kita bahkan sampai tingkatan mahasiswa/i. Krisis aqidah, krisis intelektual sedang melanda generasi kita. Dapat kita amati pola perilaku dari kehidupan para mahasiswa/I, masyarakat pada umumnya sekarang apa yang di dapat, mereka tidak lebihnya seperti kerbau yang dicocok hidungnya. Ketika Descrates mengatakan esensi untuk menajadi manusia seutuhnya dengan mengatakan “cognito ergo sum” –aku berfikir maka aku ada- sekarang berubah bagi para penganut paham hedon / kaum hypiest, menjadi “aku bergaya maka aku ada”. Mereka bagi penganut hedonisme Sebagian besar lebih pedulikan gaya pakaian, rambut, perawatan wajah dan style ke-artis-artisan (ngikutin idolanya). mereka pikir lebih modern akan lebih mudah diterima oleh lingkungan sekitarnya. Dan lebih anehnya lagi, contoh (celana ketat yang bahanya dari kaos dipakai untuk kuliah, lalu di kepala pakai kerudung), benarkah mereka tahu mode atau justru mereka sebagai korban mode?. Jika kita melihat mereka berjalan Seakan-akan sedang menonton pertunjukan fashion show dan caltwalk nya adalah pinggir jalan, pasar, mall, bahkan di kampus baik yang berlabel Islam atau Negeri.
Pernah karena sebuah rasa penasaran kenapa sebagian besar mahasiswa-mahasiswi tidak begitu tertarik untuk membeli buku dan mengoleksinya? maka akupun sering bertanya kepada mahasiswa tersebut. Dan banyak jawaban dari mereka “ga suka baca buku, karena kiriman dari orang tua sedikit/cukup untuk makan saja, dan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.” Oke, kalau jawabanya seperti itu wajar, tapi yang mengejutkan, ketika diamati ternyata mereka mampu beli baju yang bermerk, ke salon, beli pulsa, rokok dan lain-lain. Ada beberapa kemungkinan yang membuat mereka bersikap seperti itu antara lain: belum ada kesadaran pentingnya buku dalam menggali informasi dan potensi diri serta belum memahami akan dunia sekelilingnya, menunjang kemampuanya dalam berbagai forum diskusi dan kuliah atau sekolahnya, membawa pada suatu kekayaan baik harta dan persahabatan. Mereka tidak melihat dampak kedepannya, mereka hanya berpikir kesenangan sesat.
Peranan nilai, norma dan agama
Meskipun sikap atau perilaku hedonisme adalah hak pribadi seseorang, tetapi sikap tersebut sangat tidak sesuai dengan nilai, norma dan agama, bertentangan dengan jiwa semangat teposeliro atau tenggang rasa dalam konteksi interaksi antar stratifikasi/lapisan sosial masyarakat, menimbulkan kecemburuan sosial, mendorong terjadinya ekses perubahan norma/pranata aturan hidup yang berlaku ke arah penghargaan dan penghormatan adalah berdasarkan seberapa besar seseorang memiliki kedudukan dan harta benda di mata masyarakat.
Begitu pula halnya agama mengecam keras terhadap perilaku atau sikap hedonisme yang di nilai terlalu berlebih-lebihan dalam hidup. Cenderung pamer dengan segala fasilitas yang dimilikinya. Kesenangan, kelezatan serta kebahagiaan adalah final destination of life (Tujuan akhir hidup).
Agama mengajarkan tentang arti kebersahajaan, kesederhanaan dan kewajaran dalam hidup ini. Sementara, sikap hedonisme tak lebih dari ekspresi ambisi tanpa nurani yang tak berujung.
Kini hedonisme melanda sebagian masyarakat kita, baik secara langsung maupun tak langsung. Menurut Prof.Dr. Syafii Ma'arif, diperlukan adanya reaktualisasi dan revitalisasi peran nilai, norma dan agama secara komprehensif yang berfungsi sebagai pedoman moral etika masyarakat yang mampu meredam gejolak pola hidup hedonisme yang melahirkan budaya konsumtif materialistis sebagai konsekuensi logis di era modern ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar